Jakarta - Penjual bubur ayam ini sigap menyendokkan bubur dan menambahkan aneka topping. Ia dikelilingi oleh belasan pembeli yang dengan sabar menanti. "Bang, bubur ayam satu, dibungkus", teriakan itu seakan tak henti-henti terdengar. Ah, akhirnya seporsi buburpun di tangan!
Lingkungan sekitar Stasiun Sudirman di pagi hari selalu ramai akan pedagang. Sisi jalur pejalan kaki ditempati oleh pedagang aksesoris rambut, stocking, masker, juga makanan praktis seperti roti, pastel, dan keripik. Tak jauh dari situ, di tikungan bawah seberang pintu masuk halte busway Dukuh Atas 2, gerobak-gerobak makanan tradisional berjejer.
'Foodcourt' pinggir jalan ini rajin disambangi mereka yang tak sempat sarapan di rumah. Pilihan makanannya cukup banyak, seperti bubur kacang hijau, bubur ayam, ketupat sayur, ketoprak, mie ayam, dan soto Lamongan. Namun, selalu saja, tukang bubur ayam yang paling sibuk.
Para pekerja kantoran dan office boy mengelilingi gerobak bertuliskan 'Dekene Wonk Cirebon: Bubur Landmark'. Meski jalanan tempat mereka berdiri agak becek dan berlumpur, mereka seakan enggan berpaling ke pedagang makanan lain yang lebih sepi.
Sementara itu, tiga orang penjual Bubur Landmark ini terus bekerja dengan cekatan. Pria yang berkumis bertugas melipat dua lembar kertas nasi dan mengisinya dengan bubur. Setelah diletakkan di atas mangkuk ayam jago, ia mengoper ke teman di sebelahnya. Mang Ade, nama pria yang satu lagi, lantas mengisinya dengan aneka topping.
Kecap asin, merica bubuk, kerupuk (oranye, bawang, dan emping), kacang kedelai goreng, dan potongan cakwe mungil ditaburkan di atas bubur. Kemudian, ia menambahkan irisan seledri, daging ayam suwir, bawang goreng, kecap, dan sambal kacang. Mang Ade memasukkan bahan-bahan ini ke sekitar 10 mangkuk di atas meja gerobaknya.
Sebagian tak perlu dibungkus, jadi tinggal diantarkan oleh teman Mang Ade yang paling muda kepada pem beli yang duduk di bangku-bangku plastik. Namun, kebanyakan orang memesan untuk disantap di kantor. Setelah bungkusan dimasukkan ke kantung plastik, pembayaran dilakukan. Meja gerobak yang kosongpun siap dipenuhi lagi dengan mangkuk-mangkuk untuk pesanan berikutnya.
Sejujurnya, melihat antrean yang panjang ini saya jadi malas mampir. Namun, rasa penasaran saya mengalahkannya. Saya ingin tahu, apa sih keistimewaan Bubur Landmark ini sampai orang-orang mengerumuninya?
Jadilah saya ikut mengantre. "Bang, bubur ayam satu, campur, makan di sini," ujar saya. "Sebentar ya," jawab si pria berkumis. Rupanya, meja gerobak sudah penuh dengan pesanan orang lain, jadi pesanan saya masuk daftar tunggu.
Setelah sesi pesanan pertama selesai, kini giliran kelompok pesanan saya. Untuk memastikan, ia bertanya ke salah satu pemesan: "Bu, bubur ayamnya dua ya? Yang satu nggak pakai kacang sama cakwe, yang satu nggak pakai sambal?". Setelah diiyakan si pemesan, ia bertanya lagi pada pembeli lain: "Kalau Mbak, buburnya setengah, kecapnya dibanyakin?".
Saya kagum, ia bisa mengerjakan semua pesanan sesuai permintaan pembeli, tanpa tertukar-tukar. Ketiganya juga menyiapkan pesanan dengan sigap. Oh, rupanya ini karena Mang Ade sudah berjualan Bubur Landmark selama lebih dari 20 tahun. Pantas saja!
Akhirnya, setelah kurang lebih 20 menit menunggu, bubur ayam saya datang. Biasanya bubur ayam disajikan di mangkuk kaca/porselen atau wadah styrofoam, namun yang ini menggunakan kertas nasi dua lembar. Mangkuk hanya berfungsi sebagai tatakan. Wajar saja, bubur ayam ini lebih kental karena tak menggunakan bumbu kuning seperti bubur ayam lain.
Wah, kerupuknya menggunung! Sambil mencamili kerupuk yang kriuk, saya mengaduk-aduk bubur dan toppingnya hingga rata. Sayang, suwiran ayamnya sedikit.
Selagi mengepul hangat sayapun menyuapnya. Hmm, enak... Buburnya cukup kental lembut dengan racikan bumbu yang pas. Sesekali gigi mengunyah kacang ked elai dan kerupuk yang garing. Sambalnya pedas, menambah semarak bubur ayam yang penuh topping ini. Cocok untuk menambah energi sebelum beraktivitas.
Ternyata saya hanya perlu membayar Rp 8.000 untuk seporsi bubur ayam yang mengenyangkan ini. Oh iya, Anda juga bisa menambahkan sate usus, sate ati-ampela, atau sate telur puyuh kalau suka. Cukup menambah Rp 2.000 per tusuk.
Untunglah saya berangkat pagi dan sempat mencicipi Bubur Landmark. Pasalnya, lewat dari jam sembilan, berpanci-panci bubur dan sekitar sepuluh plastik kerupuk ludes hanya dalam waktu tiga jam saja!
Bubur Landmark
Dekat halte busway Dukuh Atas 2 dan gedung Landmark, Sudirman
Jakarta Selatan
Telepon: 085218833687
Buka: Senin-Sabtu, 06:00-09:00
(odi/fit)
food.detik
No comments:
Post a Comment